Kenali HAMKA
Prof Hamka merupakan tokoh ilmuwan yang berperanan dalam melakukan usaha-usaha pembaharuan pemikiran di Nusantara terutama di Indonesia dan terkesan juga di Malaysia.
Hamka ataupun nama penuhnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim bin Amrullah lahir di Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Beliau kembali ke rahmatullah pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama asal ayahnya ialah Rasul namun setelah pulang dari Mekah ditukar kepada Haji Abdul Karim kerana menurut adat yang dipakai ketika itu apabila seseorang sudah menunaikan haji diberikan nama baru (Lihat: Prof Hamka, Ayahku, m/s 104. Selangor: Pustaka Dini 2007).
Ayahanda beliau seorang ulama yang belajar di Mekah, kemudian pulang ke Sumatera menjadi pejuang islah di tanahairnya.
Anak Seorang Pejuang
Hamka meriwayatkan kisah debat ayahnya dengan ulama-ulama tua Padang seperti yang diceritakan kepada Hamka murid ayahnya Tuanku Syeikh ‘Abbas:
Sebagai
ulama, HAMKA pernah menjawat Ketua Majlis Ulama Indonesia (1977-1981),
tapi kemudian mengundurkan diri karena berselisih pandangan dengan
pemerintah soal fatwa Majlis Ulama Indonesia ( MUI ) tentang haramnya
mengucapkan SELAMAT NATAL.
Hamka
mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas
dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan
Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan
mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di
surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim
Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus
Hadikusumo.
Hamka
mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
Hamka kemudian dilantik sebagai dekan di Universitas Islam, Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun
1951 hingga tahun 1960, beliau menjawat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jawatan itu ketika
Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat
dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka
adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana
Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James,
Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre
Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo
sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang
handal.
Hamka
juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Mulai
tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah
dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan
Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada
tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah.
Pada 26 Julai 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali
melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau
kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan
politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota
partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang
usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia
menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam
Pilihan Raya Umum 1955.
Masyumi
kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari
tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah
keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah
Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia
dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain
aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka
menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau
menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga
pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar
dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku
teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka
pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,
Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan
Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Hamka
telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di
negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk
Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
"Melayu Tanpa Islam akan hilang identitinya"
Comments
Post a Comment